Sejarah Ingkar Sunnah
1. Ingkar Sunnah Pada Masa Periode Klasik
Pertanda munculnya “Ingkar Sunnah”
sudah ada sejak masa sahabat, ketika Imran bin Hushain (w. 52 H) sedang
mengajarkan hadits, seseorang menyela untuk tidak perlu mengajarkannya, tetapi
cukup dengan mengerjakan al-Qur’an saja. Menanggapi pernyataan tersebut Imran
menjelaskan bahwa “kita tidak bisa membicarakan ibadah (shalat dan zakat
misalnya) dengan segala syarat-syaratnya kecuali dengan petunjuk Rasulullah
saw. Mendengar penjelasan tersebut, orang itu menyadari kekeliruannya dan
berterima kasih kepada Imran.
Sikap penampikan atau pengingkaran
terhadap sunnah Rasul saw yang dilengkapi dengan argumen pengukuhan baru muncul
pada penghujung abad ke-2 Hijriyah pada awal masa Abbasiyah.
Di Indonesia, pada dasawarsa tujuh
puluhan muncul isu adanya sekelompok muslim yang berpandangan tidak percaya
terhadap Sunnah Nabi Muhammad SAW. Dan tidak menggunakannya sebagai sumber atau
dasar agama Islam. Pada akhir tujuh puluhan, kelompok tersebut tampil secara
terang-terangan menyebarkan pahamnya dengan nama, misalnya, Jama’ah al-Islamiah al-Huda, dan Jama’ah al-Qur’an dan Ingkar Sunnah, sama-sama hanya
menggunakan al-Qur’an sebagai petunjuk dalam melaksanakan agama Islam, baik
dalam masalah akidah maupun hal-hal lainnya. Mereka menolak dan mengingkari sunnah sebagai landasan agama.
Imam Syafi’i membagi mereka kedalam
tiga kelompok, yaitu :
- Golongan yang menolak seluruh Sunnah Nabi SAW.
- Golongan yang menolak Sunnah, kecuali bila sunnah
memiliki kesamaan dengan petunjuk al-Qur’an.
- Mereka yang menolak Sunnah yang berstatus Ahad dan
hanya menerima Sunnah yang berstatus Mutawatir.
Dilihat
dari penolakan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kelompok pertama dan
kedua pada hakekatnya memiliki kesamaan pandangan bahwa mereka tidak menjadikan
Sunnah sebagai hujjah. Para ahli hadits
menyebut kelompok ini sebagai kelompok Inkar
Sunnah.
Argumen kelompok yang menolak Sunnah secara
totalitas
Banyak
alasan yang dikemukakan oleh kelompok ini untuk mendukung pendiriannya, baik
dengan mengutip ayat-ayat al-Qur’an ataupun alasan-alasan yang berdasarkan
rasio. Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang
digunakan mereka sebagai alasan menolak sunnah secara total adalah surat an-Nahl ayat 89 :
ﻮﻨﺰﻠﻨﺎ ﻋﻠﻳﻚ ﺍﻠﮑﺘﺎﺏ ﺘﺑﻴﺎﻨﺎ ﻠﮑﻞ ﺸﺊ
“Dan kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an)
untuk menjelaskan segala sesuatu….”
Kemudian surat
al-An’am ayat 38 yang berbunyi:
...ﻤﺎﻓﺮﻄﻨﺎ ﻔﻰ ﺍﻠﺘﺎﺐ ﻤﻦ ﺷﺊ....
“…Tidaklah kami alpakan sesuatu pun dalam al-Kitab…”
Menurut mereka kepada ayat tersebut
menunjukkan bahwa al-Qur’an telah mencakup segala sesuatu yang berkenaan dengan
ketentuan agama, tanpa perlu penjelasan dari al-Sunnah. Bagi mereka perintah
shalat lima
waktu telah tertera dalam al-Qur’an, misalnya surat al-Baqarah ayat 238, surat Hud ayat 114, al-Isyra’ ayat 78 dan
lain-lain.
Adapun alasan lain adalah bahwa
al-Qur’an diturunkan dengan berbahasa Arab yang baik dan tentunya al-Qur’an
tersebut akan dapat dipahami dengan baik pula.
Argumen kelompok yang menolak hadits Ahad dan
hanya menerima hadits
Mutawatir.
Untuk
menguatkan pendapatnya, mereka menggunakan beberapa ayat al-Qur’an sebagai
dallil yaitu, surat
Yunus ayat 36:
ﻮﺍﻦ ﺍﻠﻈﻦ ﻻﻴﻐﻨﻰ ﻤﻦ
ﺍﻠﺤﻖ ﺸﻴﺌﺎ
“…Sesungguhnya persangkaan itu tidak
berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran”.
Berdasarkan ayat di atas, mereka
berpendapat bahwa hadits Ahad tidak dapat dijadikan hujjah atau pegangan dalam
urusan agama. Menurut kelompok ini, urusan agama harus didasarkan pada dalil
yang qath’I yang diyakini dan disepakati bersama kebenarannya. Oleh karena itu
hanya al-Qur’an dan hadits mutawatir saja yang dapat dijadikan sebagi hujjah
atau sumber ajaran Islam.
2. Ingkar Sunnah pada Periode Modern
Tokoh- tokoh kelompok Ingkar Sunnah
Modern (akhir abad ke-19 dan ke-20) yang terkenal adalah Taufik Sidqi (w. 1920)
dari Mesir, Ghulam Ahmad Parvez dari India, Rasyad Khalifah kelahiran
Mesir yang menetap di Amerika Serikat, dan Kasasim Ahmad mantan ketua partai
Sosialis Rakyat Malaysia.
Mereka adalah tokoh-tokoh yang tergolong pengingkar Sunnah secara keseluruhan.
Argumen yang mereka keluarkan pada dasarnya tidak berbeda dengan kelompok
ingkar sunnah pada periode klasik.
Tokoh-tokoh “
Ingkar Sunnah “ yang tercatat di Indonesia antara lain adalah Lukman
Sa’ad (Dirut PT. Galia Indonesia)
Dadang Setio Groho (karyawan Inilever), Safran Batu Bara (guru SMP Yayasan Wakaf
Muslim Tanah Tinggi) dan Dalimi Lubis (karyawan kantor Departemen Agama Padang
Panjang).
Sebagaimana kelompok ingkar sunnah
klasik yang menggunakan argumen baik dalil naqli maupun aqli untuk menguatkan
pendapat mmereka, begitu juga kelompok ingkar sunnah Indonesia.
Diantara ayat-ayat yang dijadikan sebagai rujukan adalah surat an-Nisa’ ayat 87 :
ﻮَﻤﻦ ﺍﺼﺪﻖ ﻤﻦ
ﺍﷲ ﺤﺪﻴﺜﺎ
Menurut mereka arti ayat tersebut
adalah “Siapakah yang benar haditsnya
dari pada Allah”.
Kemudian surat al-Jatsiayh ayat 6:
ﻓﺒﺄﻱ ﺤﺪﻴﺚ ﺒﻌﺪ ﺍﷲ ﻮﺍﻴﺎﺗﻪ ﻴﺆﻤﻨﻮﻦ
Menurut mereka arti ayat tersebut
adalah “Maka kepada hadits yang manakah
selain firman Allah dan ayat-ayatnya mereka mau percaya”.
Selain kedua ayat diatas, mereka
juga beralasan bahwa yang disampaikan Rasul kepada umat manusia hanyalah al-Qur’an dan jika
Rasul berani membuat hadits selain dari ayat-ayat al-Qur’an akan dicabut oleh
Allah urat lehernya sampai putus dan ditarik jamulnya, jamul pendusta dan yang
durhaka. Bagi mereka Nabi Muhammad tidak berhak untuk menerangkan ayat-ayat
al-Qur’an, Nabi
Hanya bertugas
menyampaikan.